Selasa, 29 Desember 2015

SULUK WUJIL SUNAN BONANG

Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.

Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.

Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.

Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.

Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

1. Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba

2. Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada

3. Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan

4. Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada

5. Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora

Artinya, lebih kurang:

1. Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam

2. Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

3. “Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang

4. Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

5. Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu- ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita.

Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.

Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:

6. Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat

7. Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta

8. Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman

9. Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira

10. Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama

Artinya lebih kurang:

6. Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat

7. Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning

8. Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan

9. Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11. “Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”

Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ‘pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ‘Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi?


Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan “Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
SULUK LINGLUNG SUNAN KALIJAGA

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang lain itu sebagai “kaca benggala”. Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir. Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:

Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki

Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.

Adapun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya.

Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami.

Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku.

Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya ALLAH ana nireki.

Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu.

Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi.

Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.

Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.


Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup.

Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (Sunan Kalijogo) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.

Mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.


Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut “mati sajroning ngahurip” dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini
SULUK SUKARSA

Sastra gumelar ing jagad kang atuduh pangawikan,
kang weruh ing tuduh sampurna tan ana ireng ing pethak,
yen sira sampun waspada lumampaha alon-lonan,
kebirira lan sumungah ujub loba singgahana.
Ki Sukarsa wus alayar ing sakathahing segara,
Margane tekeng makripat tanpa etung urip pejah,
Damare murub tan pejah panganggo mulya tan rusak,
Asangu tan kena telas angungsi ing desa jembar.

Ki Sukarsa dennya layar perau sabar darana,
Salat mangka tiyangira kinamudhen pangawikan,
Linyaran amangun hak winelahan niat donga,
Den watangi panenedha den pulangi lawan tobat.

Den labuhi sukurulah den taleni lan kana’at.
Den pulangi lan wicara den damari lan makripat.
Ki Sukarsa dennya layar wus tekeng segara rakhmat.
Kawasa denira layar wus tekeng segara ora

Artinya :
Sastra tergelar di dunia menunjukkan sebuah pengetahuan
tentang tuntunan kesempurnaan,
tak ada hitam pada putih,
bagi orang yang telah mencapai hikmat berjalanlah pelan-pelan,
takabur dan sombong perilaku tamak tentu disingkirkan
Si Sukarsa bagaikan telah berlayar di segala lautan, sebagai
jalan untuk sampai ke tempat ma’ripat yang tidak memperhitungkan
hidup atau mati,lampunya senantiasa menyala busana kemuliaan tak akan
rusak, bekal yang dibawa tak akan habis, saat mengungsi di desa luas.
Si Sukarsa dalam pelayarannya, dengan naik perahu kesabaran,
shalat sebagai orang yang mengemudi tentang pengetahuan,
dijalani sebagai pembangun hak, dengan menggunakan kemudi
niat dan doa dengan segala permohonan,
diakhiri dengan pertobatan.
Dilakukan dengan selalu bersyukur diikat dengan menggunakan kana’at,
dilakukan dengan bela bicara dengan penerangan ma’rifat,

Si Sukarsa dalam pelayarannya telah berada pada lautan
rakhmat,selamatlah dalam pelayaran itu sehingga sampai pada lautan

tiada (meninggal dunia?).

Bait lainya :

Pan sami pakening suksma, margane antuk sampurna, den awas sira yan
mulat, sampun keliru ing sadya, yan sira tanpa gurawa, mangsa waspaosing
suksma, ing suksma sira den awas, pan arusit prenahira

Ki Sukarsa wus anuksma, sinuksma ing jati-suksma. tekeng sagara ma’rifat,
tan emut ing jiwa raga, mangke atingal sasana, amateni pancadriya, tan
ketang salwiring lampah, iman tohid datan kocap

Ma’rifat tan kauningan, karem ing jroning sagara, jinaten surah syanira,
ika sih nugrahaning hyang, tan ana ing jiro ing jaba, duk sira tunggal
sasana, tan kocap gusti kawula, atunggal sasananira

Kandih kalimput ing sadya, tan ana tetelanira, datan katingalan,
paningale uwus ilang, ragane kadi babateng, awang-uwung anarawang, ing dunya
kerat tan kocap, swarga siksa datan ana

Kari raraga kawula, Sukarsa sadya nanira, tan ana muji anembah, datan ana
Kang sinembah

Artinya kurang lebih sperti ini :

Perhatikan Ajaran Tuhan, jalannya mendapatkan Kesempurnaan, awaslah kamu
dalam melihat, janganlah keliru dalam niat, bila kamu tanpa guru, apa tidak
ragu dalam qalbu, dalam jiwa kamu agar waspada, karena rumpil tempatnya

Ki Sukarsa telah memasuki jiwa, memasuki jiwa yang Sejati, sampailah di
lautan Ma’rifat, tidak ingat jiwa dan raga, sekarang terlihat Singgasana,
mematikan segala panca indera, tidak mengingat segenap perilaku, iman tauhid sudah tiada lagi terucapkan di lisan

Ma’rifat tiada diketahui, tenggelamlah di dalam Lautan, mendapatkan
Kenikmatan Sejati Rahasia-Nya, itulah Anugerah Tuhan, tiada lagi luar dan
dalam, tatkala kamu bersatu dalam Singgasana, tiada lagi terucap
gusti-kawula (Tuan-hamba), menyatu dalam Singgasana-Nya

Teralih terliput dalam niat, tiada penjelasannya, tiada terlihat,
penglihatannya telah sirna, raganya bagaikan bangkai, menerawang tanpa
batas, dunia dan akhirat pun sudah tiada terucap, surga atau neraka pun
sudah tiada beda

Tinggallah bayangan raga semata, Sukarsa seperti adanya, tidak memuji dan tidak menyembah, karena tiada lagi yang disembah… (Laa maujud illa Allah)
SULUK

1.Pengertian Suluk

            Penyebaran Islam ke Nusantara termasuk di Jawa tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ajaran tasawuf. Pada umumnya ajaran tasawuf tersebut diajarkan oleh para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang tarekat. Hal ini berdampak positif terhadap berkembangnya karya sastra di Jawa, yaitu karya Islam santri dan karya Islam kejawen. Khusus untuk karya sastra Islam kejawen muncul apa yang sering disebut primbon , suluk, dan wirid.

            Khusus untuk istilah suluk hampir sama dengan tarekat, keduanya berarti jalan atau cara mendekati Tuhan untuk memperoleh ma’rifah. Hal ini dilakukan dengan latihan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kaidah tertentu dalam ajaran tasawuf, sedangkan orang yang menjalankan suluk ini disebut salik. Kemudian pada perkembangan selanjutnya di Jawa istilah suluk mempunyai dua macam pengertian, suluk yang berarti nyanyian (tembang) yang dilagukan oleh dalang ketika akan memulai satu adegan (babak) dalam pertunjukan wayang,dan suluk  yang berarti satu jenis karya sastra Islam kejawen berbentuk  puisi, ditulis dengan mengunakan tembang macapat  yang berisi berbagai aspek ajaran Islam. Salah satu aspek ajaran Islam yang menonjol dalam karya sastra suluk adalah tasawuf.

            Ditinjau dari asal usul bahasanya, suluk berasal dari kata dalam bahasa Arab, yaitu sulukun yang merupakan isim masdar dari salaka artinya, melalui atau menempuh jalan. Kemungkinan suluk berasal dari perkataan sulukun,  merupakan isim jama’ dari silkun, berarti benang atau tali yang digunakan untuk merangkai intan atau permata. 

            Pengertian di atas yang berkaitan dengan arti kata suluk, yaitu menempuh jalan, dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf, yaitu berarti jalan yang harus dilalui untuk menuju kesempurnaan batin. Sedangkan arti suluk yang berarti benang atau tali, mempunyai makna atau pengertian bahwa suluk merupakan salah satu khasanah kasusasteraan Jawa. Menurut Faqir Abdul Haq, karya puisi yang berisi ajaran tasawuf ini digubah dengan maksud agar dipakai sebagai petunjuk yang menjadi tali pengikat atau penghubung antara makhluk dengan khaliknya atau bisa jadi merupakan petunjuk tentang jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk sampai pada makrifat Tuhan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Nahl: 69 /16:69 yang artinya :

“Tempuhlah jalan Tuhanmu yang dimudahkan bagimu…”.

Beberapa ahli tasawuf memberi tafsiran lain terhadap ayat di atas. Di  antaranya ada yang memberi arti “maka bersuluklah kamu…”, dan menjadikannya sebagai salah satu dasar bagi ajaran tasawuf.

            Kemudian hakikat suluk itu sendiri dalam ilmu tasawuf adalah mengosongkan diri dari sifat mazmumah (buruk) yaitu dari maksiat lahir dan batin, dan mengisinya dengan sifat-sifat yang mahmudah (terpuji). Dalam bersuluk disyari’atkan untuk melakukan sebuah perjalanan spiritual yang panjang dengan berbagai maqamnya, yang akhirnya akan memperoleh tujuan yang dikehendaki, yakni kesempurnaan Iman.

            Mengenai sejak kapan istilah suluk dipakai untuk menamai karya sastra Jawa yang bercorak tasawuf, belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, dalam khasanah sastra Melayu Klasik, istilah suluk ini sudah dipakai sebagai nama lain dari tasawuf. Sementara itu, para penganutnya disebut ahlus suluk. Untuk itu, dibawah ini akan dibicarakan mengenai suluk sebagai karya sastra yang berkembang di Jawa.

2.Suluk Sebagai Sastra Kitab

            Bentuk suluk yang muncul dalam kasusasteraan Jawa tidaklah sama dengan suluk yang muncul dalam tarekat. Suluk  telah terakulturasi dengan ide-ide mistik Hindu Jawa. Makna suluk tersebut telah bergeser dan tidak terkait lagi dengan dunia tarekat, namun telah berkembang menjadi sebuah bentuk kasusasteraan.

Suluk sebagai karya sastra Jawa dimulai semenjak Majapahit berada diujung kehancuran yang ditandai dengan kekacauan politik. Hal inilah kemudian yang memudahkan unsur-unsur Islam masuk dengan mewarnai dan mempengaruhi tradisi masyarakat Jawa. Saat Majapahit berada dalam puncak kejayaan, sebenarnya sudah ada beberapa orang yang memeluk Islam di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Mereka ini yang kemudian di samping berdagang, juga menjalankan dakwah Islam di kalangan masyarakat. Dalam penyebaran Islam ini, pada awalnya belum dapat menembus wilayah kerajaan, Islam mulai tersebar dari lapisan bawah, yaitu di daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisiran yang kemudian melahirkan lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren. Baru kira-kira abad ke-16 M, dakwah Islam mulai menembus benteng-benteng istana, yaitu melalui unsur-unsur Islam yang telah meresap dan mewarnai sastra budaya istana, didukung oleh masuk Islamnya kalangan priyayi. Dengan demikian, maka munculah kitab-kitab berbahasa Jawa yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan keislaman.
            Para priyayi, para cendekiawan dan para sastrawan berusaha mempertahankan warisan budaya istana dan mengembangkannya dengan menyesuaikan unsur-unsur Islam. Dalam zaman Hindu, para priyayi, cendekiawan dan sastrawan berhasil mengembangkan kebudayaan istana dengan memanfaatkan unsur-unsur Hinduisme dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Cerita tersebut telah mengilhami berbagai macam lahirnya sejumlah karya sastra dan seni pewayangan yang mendukung serta memperluas wibawa raja dan kaum priyayi sebagai sendi dasar stabilitas kebesaran negara pada masa itu.

Demikian juga ketika Islam mulai menyebar dengan berdirinya Kerajaan Demak, maka para priyayi, para cendekiawan dan para sastrawan berusaha menyadap unsur-unsur baru  dari kitab-kitab yang bersumber pada lingkungan pesantren. Hal ini sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Budaya Jawa dan untuk mengembangkan karya-karyanya, sehingga lahirlah berbagai macam serat, suluk, wirid, primbon, dan gubahan kisah-kisah yang berasal dari tradisi pesantren baik yang berasal dari bahasa Arab maupun Melayu.
            Mengenai sejak kapan sastra suluk mulai digunakan di kalangan sastra Islam Jawa belum diketahui secara pasti. Namun menurut sejumlah sumber kasusasteraan Jawa, penggunaan suluk dimulai  sejak awal abad enambelas. Hal ini dapat dilihat pada penemuan manuskrip yang disebut sebagai Het Boek Van Bonang atau  Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (Kitab Sunan Bonang atau Primbon Abad Keenambelas). Di samping itu, terdapat serat Suluk Sukarasa dan Suluk Wujil, yang menurut Poerbotjaraka, suluk ini merupakan manuskrip tertua dalam literatur Jawa.

             Perkembangan sastra suluk, serat-serat babad, primbon dan cerita-cerita keislaman  yang digubah dan disesuaikan dengan wayang Hindu Jawa makin subur pada zaman pemerintahan Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung telah berhasil menyelaraskan dan berusaha menutup jurang perbedaan yang menyebabkan konflik antara tradisi budaya pesantren dengan kejawen, yaitu dengan mengkompromikan unsur-unsur Islam ke dalam tradisi seni budaya kejawen di lingkungan istana.

 Kebangkitan perkembangan kasusasteraan Jawa, khususnya suluk mengalami puncak kejayaan di bawah kekuasaan Surakarta. Saat itu, diangkat para pegawai khusus di kalangan istana yang disebut pujangga. Mereka merupakan pegawai yang diberi posisi terhormat dalam istana kerajaan dengan pangkat  Tumenggung. Mereka mengadakan pembaharuan kitab-kitab berbahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru. Mereka juga mengambil unsur-unsur Islam yang terdapat dalam literatur-literatur Arab yang berpusat di pesantren, untuk digubah kedalam bahasa dan tulisan Jawa serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa. Perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan Jawa ini telah menumbuhkan karya baru dalam kasusasteraan Jawa. Contoh dari kitab-kitab baru, misalnya Kitab Centini, serat wirid Hidayat jati, Wulangreh, Wedhatama, dan suluk-suluk yang lain seperti Suluk Sujinah, Suluk Syeh Ngabdulsalam, Suluk Permusyawaratan wali dan sebagainya.

            Lebih lanjut, berkembangnya kreasi seni budaya dan karya sastra Jawa adalah sebagai bentuk kompensasi dari hilangnya kedaulatan kerajaan oleh pemerintah kolonial Belanda. Apalagi setelah kerajan Mataram terpecah dan Belanda berkuasa penuh, tidak ada lagi aktivitas politik yang dapat diperhitungkan. Kemudian kerajaan mengarahkan perhatiannya pada penulisan sastra Jawa dalam upaya mengungkapkan budaya Jawa kuno. Drewes mengatakan bahwa masa itu merupakan masa paling produktif bahkan masa kebangkitan sastra yaitu periode antara 1757-1881.

            Karya-karya suluk tersebut rata-rata tersusun dalam bentuk dialog atau tanya jawab antara dua orang pelaku atau lebih tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan keagamaan. Biasanya, bentuk dialognya adalah tanya jawab antara guru dengan murid, atau orang tua dengan anaknya, dengan cucunya, atau mungkin seperti dalam Suluk Sujinah ini, adanya dialog antara seorang suami dengan istrinya.

            Untuk penamaan atau pemilihan judul dari sebuah karya suluk biasanya diambil dari nama salah seorang pelaku dalam karya suluk yang bersangkutan, atau mengambil topik pembicaraan antara tokoh-tokohnya. Dalam hal ini, Suluk Sujinah, Suluk Wujil dan Suluk Sukarasa termasuk kedalam kelompok pertama, sementara Suluk Sangkanparan, Suluk Musyawaratan Para Wali dan banyak suluk yang lain tergolong dalam kelompok kedua. Namun tidak jarang dijumpai terdapat karya suluk yang sama sekali tidak mempunyai nama judul. Karena kebanyakan dari suluk-suluk jenis ini kerap kali terkumpul dalam suatu bendel suluk baik yang mempunyai nama atau tidak.

Pada waktu itu, banyak sastrawan dan pujangga menyalin sebuah karya sastra yang sudah ada dan kemudian disesuaikan dengan latar belakang kehidupan  penyalinnya, sehingga banyak dijumpai karya-karya sastra yang sama dalam pertumbuhan khazanah kasusasteraan Jawa.
TULADHA GEGURITAN


                                   SUNGKEM
                                           Dening : Zaenal Awaludin

Tangis seseg nalika eling luputku mring wong tuwa
Dakgegem seret asta
Dakambung samparane
Nora bisa aweh piwales kang nyata
Nora bisa aweh piwales kang padha
Rama ibu,
Paringana pangaksama mring keng putra
Awit dereng saged adamel bombonging manah
Namung saged paring raos kang tan sakeca
Amung siji panyuwunku marang Gusti
Mugya tetep bisa ngabekti
TULADHA GEGURITAN

                     KABEH MBISU
                         Dening : Zaenal Awaludin

Lumaku sadawaning dalan krikil
Bingung tanpa papan kang tinuju
Awak garing, sinorot srengenge
Kang tanpa tedheng pangaling-aling
Sapa kang siambat yen kahanan kaya mangkene
Pengin takon nanging karo sapa?
Wis dakcoba takon marang krikil,
iya meneng wae
Kae,,, srengenge kang sumorot uga tanpa wangsulan
Kabeh meneng
Kabeh tanpa swara
Kabeh mbisu

Apa dakcoba takon marang suket kang keterak angin?
TULADHA CERKAK

DURJANA KINGKIN
Dening : Zaenal Awaludin

               Ing jaman Majapait ana tembung ma lima kang kudu didohi dening kabeh manungsa, yaiku madat, mabuk, madon, mateni, lan main. Nanging, ora kabeh manungsa bisa ngedohi larangan iku. Kaya ta kang dilakoni dening Sardi, salah siji bujang saka Magelang. Pagaweyan saben dinane mangan barang-barang kang diharamake. Dheweke uga seneng madon lan main. Kulawargane wis ora gelem ngopeni maneh merga tumindake kang ngisin-isini lan nggegirisi. Tumindake iku kerep gawe sangsarane liyan. Apa wae duwene wong liya dijupuk kang dikira prelu kanggo uripe. Mula, dheweke uga kerep ditundhung saka dhusun. Nanging, saben-saben ditundhung mesthi wae mamerake kadigdayane. Dadi akeh warga kang uga wedi nglanggati. Sardi dadi geng ing papan kono. Malah ing Magelang dheweke wis misuwur kadurjanane. Dheweke kerep dadi buron pulisi merga sawise metu saka pakunjaran mbaleni tumindak alane.
               Kaya padatane, saben wengi Sardi kumpul bareng kanca-kancane kang tumindake ora adoh saka dheweke. Ing kono pagaweyane padha mendem lan main. Yen bandhane wis entek, pagaweyan nyolong dilakoni. Asile, ora liya maneh kanggo modhal mendem lan main maneh. Sawijining dina, Sardi nyolong tv ing omahe Pak Kasbun. Kaya ora duwe dosa dheweke kepenak wae anggone nyolong. Tumindake kuwi konangan, nanging dheweke malah ngancem yen nganthi dilapurake marang pulisi, Pak Kasbun lan kulawargane bakal dipateni. Merga wis lara ati lan ora trima bandhane dicolong, Pak Kasbun mung bisa sambat marang tangga-tangga. Kalebu wong tuwane Sardi, yaiku Pak Kamto lan Bu Minem. Wong tuwane Sardi ora bisa apa-apa maneh kajaba mung njaluk apura. Dheweke ora bisa mbalekake barang-barang sing wis dicolong dening Sardi, merga Pak Kamto lan Bu Minem wis ora kuwawa maneh paring pitutur.
               “Pak Kamto, iki kepriye anakmu wingi nyolong tv ing omahku? Sardi uga bakal mateni aku lan kulawargaku yen aku nglapurake marang pulisi. Sardi kuwi anakmu, dadi aku arep njaluk balen barang-barang sing wis dicolong marang kowe.” Sambate Pak Kasbun marang Pak Kamto merga wis rumangsa kelangan bandha asil saka polahe Sardi.
               “Lho, kok nagih marang aku, ta, Pak? Tumindake Sardi ya kareben dheweke sing nyauri. Sanajan anaku, nanging aku wis ora saguh ngopeni maneh. Wis ora kuwawa maneh anggonku paring pitutur supaya bisa tumindak becik.” Wangsulane Pak Kamto kang dipaesi rasa isin.
               “Kok kaya mangkono, ta? Apa kowe ora bisa ndhidhik anakmu maneh? Paling duwe anak siji wae ora bisa ngopeni. Kae, sawangen tangga liyane sing nasibe padha karo aku. Apa kowe ora mikir kanggo nundhung anakmu wae saka papan kene? Kareben masyarakat kene iki padha urip ayem tentrem tanpa durjana kang mung bisa gawe sangsarane liyan.”
               Krungu ukara kang pungkasan iku Pak Kamto ora mangsuli. Dheweke mlebu omah sinambi sumbar nutup lawang. Ing njero omah Pak Kamto nangis seseg sambat marang bojone. Rasane isin banget nganthi ana tangga kang sambat kaya mangkono. Kulawargane wis sayah nampa sriwang-sriwing warta ala saka tangga.
               “Bu, sejatine lupute dhewe iki apa marang Gusti? duwe anak siji wae polatane kaya mangkono. Aku isin. Aku isin rumangsa ora bisa ngopeni anak. Sanajan sejatine wis ora sudi ngopeni bocah siji kae. Kepriye yen wis kaya mangkene, Bu? Pancen aku wis wegah ngopeni, nanging arep kepriye maneh Sardi iku anake dhewe.” Pak Kamto sambat marang Bu Minem.
               “Wis, Pak! Saka pamawasku, dakkira dhewe ora luput anggone momong anak. Mung anake dhewe wae sing ora duwe pikiran. Nanging, aja nganthi kebacut anggone sampeyan kingkin kaya mangkono. Sampeyan kudu pitaya, ing dunya iki ora salawase awan lan ora salawase wengi. Muga-muga Gusti bisa paring padhanging pikir marang anake dhewe.” Wangsulane Bu Minem tansah ngadhem-adhemake atine Pak Kamto.
               “Iya, Bu. Panjaluku uga kaya mangkono. Muga bisa kasembadan.”
               Nalika lagi main karo kancane ing kidul dhusun, Sardi nyawang Miyah, kenya kenes kang arep mangkat menyang sawah. Miyah iku anake Pak Kasbun. Dheweke ketung pethel anggone nyambut gawe. Mripate Sardi ora kemedhep anggone nyawang Miyah. Parman, kanca maine Sardi nggetak nyawang kadadeyan iku.
               “He! Kowe nyawang Miyah kok ora kemedhep kaya mangkono. Yen kowe kepencut enggal tembungana marang wong tuwane. Bujang kok ora wani nembung.”
               “Asu, lambemu kuwi dijaga. Ora ana basane yen aku kepencut marang anake wong sing dakcolong bandhane.” Wangsulane Sardi karo nempiling sirahe Parman.
               “Alah ora susah diumpetake. Yen pancen tresna ora bakal nyawang apa wae kang malangi.”
               “Wis, ora susah cangkeman wae! Ayo main maneh!” Sardi mangsuli kaya mangkono kanggo nutupi rasa kang sejatine pancen kaya ana rasa tresna marang Miyah.
               Wektu jumangkah mlaku, Sardi wis ora kuwawa maneh mekek rasa tresna marang Miyah. Rina wengi mung mikir dheweke. Jroning batin Sardi bakal mari anggone tumindak culika yen bisa nyuwitani kenya siji kuwi. Nalika Miyah menyang sawah, Sardi ngetutake saka mburine. Banget kagete nalika Miyah malik awak lan takon marang sardi kena apa kok ngetutake. Sardi gugup anggone mangsuli, kaya ana pager wesi ing njero gulu sing mepalangi omongane. Nanging, eseme Miyah kaya-kaya deresing ilen banyu sing bisa njebolke pager wesi iku. Ing kono ora bisa diumpetake maneh sejatine rasa tresna kang ana. Sardi ora bisa nggambarake yen rasa tresna iku mung bakal entuk piwales kang nglarani ati. Dheweke ngrumangsani tumindak alane ora bakal bisa njalari rasa trenane Miyah. Nanging, ora kaya kang dipikirake. Miyah ora pilah-pilih wong lanang. Sapa sing bisa ngayomi iku bakal bisa dadi sesandhingane. Dheweke gelem karo Sardi, nanging kudu bisa mbenahi tumindake. Kang dadi prakara, apa wong tuwane Miyah sing wis dilarani atine bisa nampa Sardi?
               Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Mung ukara iku kang ngukuhi atine Sardi anggone ngoyak rasa tresna marang Miyah. Ora preduli wong tuwane ora bakal paring pangestu. Bakune, Sardi kudu bisa ndadekake Miyah minangka sesandhingan uripe. Miyah pancen wis bisa tresna marang Sardi. Dheweke uga wis biyasa diantar-jemput anggone nyambut gawe. Akeh tangga sing padha rasan marang Pak Kamto, apa anak kenese kuwi lila didadekake sesandhingan uripe Sardi, durjana kang mung bisa gawe sangsarane liyan. Mesthi wae kulawargane Pak Kamto ora nyetujoni. Ora sudi yen anake bakal sesandhingan karo durjana.
               Atine bujang pancen kukuh ing babagan katresnan. Sardi wis ora mikir bakal dipangestoni apa ora. Bakune dheweke bisa sesandhingan karo Miyah. Cara apa wae bakal dilakoni. Nanging, takdhir pancen ora bisa diendhani. Nalika wong loro iku arep jalan-jalan menyang alun-alun, Gusti wis ngersakake liya. Motor sing ditumpaki nyrempet mobil sedan. Miyah kontal tekan sebrang dalan. Dene Sardi tiba klarak motore. Awake Miyah kebak getih merga tatu ing sakujur awak. Dheweke dipundhut dening Gusti. Wong-wong padha ngrubung nyekseni. Sardi ora bisa nggambarake lan ngumbarake rasa kingkine.
               “Miyah! Miyah! Miyaaaaah! Aja tinggalke aku, Ndhuk!” Sardi jejeritan karo nangis.
               “Dhuh Gusti, ingkang lepatipun kathah menika kula, sanes Miyah. Kenging menapa panjenengan boten mundhut kula kemawo, Gusti? Sapa..... sapa maneh kang bisa dadi sesandhingan uripku? Kenya sing daktresnani dipundhut dening Gusti. Kulawargaku wis ora sudi maneh ngopeni aku.”

               Rasa kingkin tetep bisa tumemplok marang sapa wae. Kingkin, kingkin, lan kingkin dirasakake dening Sardi, priya durjana kang pagaweyane mung bisa gawe sangsarane liyan.
TULADHA CERKAK

PADHANG KATUTUP PETENG
Dening : Zaenal Awaludin

                         Kulawarga sing rukun lan seneng bebasan padhanging awan. Kaya kulawargane Pak Karso, saben dina sajak ora tau nemoni prakara. Dheweke nyambut gawe dadi Hansip ing salah siji dhusun neng Wonogiri. Anggone nyambut gawe wayah wengi tekan esuk. Yen awan kanggo ngaso nglemesake awak. Dheweke pethel banget, mula wis 15 taun iki anggone dadi Hansip ora diganti dening wong liya. Pak Kadus pitaya yen Pak Karso isih bisa ngemban jejibahan iki. Bu Marni, bojone mung nyambut gawe srabutan. Apa wae sing bisa ngasilake iya dilakoni, sing penting halal. Dene anake ana loro, yaiku Tini lan Dhimas. Tini wis kelas 11 ing salah siji SMA swasta. Dheweke kalebu bocah sing kenes. Dene Dhimas isih umur rong taun. Yen esuk Bu Marni nyambut gawe sinambi nggendhong Dhimas, merga neng omah ora ana sing momong. Nalika Tini wis mulih saka sekolah, Dhimas dimong dening dheweke. Sanadyan kahanan sing pas-pasan, nanging ora ndadekake kulawarga iku nggresula. Kabeh tansah padha matur nuwun marang Gusti apa sing wis diparingake.
               Mulih saka sekolah, Tini diutus dening ibune momong Dhimas. Bu Marni lagi ana gaweyan ing omahe Bu Karsum ngumbah sandhangan. Sanadyan awak kesel, nanging dheweke ngelingi yen wong tuwane banget luwih kesele anggone nyambut gawe. Bakale kasile ya kanggo dheweke lan adhine.
               “Tin, mengko yen adhimu nangis dijerke susu wae, ya! Susune aneng lemari pawon kaya biyasane. Ngreti, ta?” Bu Marni ndangu.
               “Inggih, Bu. Mangkin kula damelaken.”
               “Oh, iya. Mengko dhaharane bapak aneng meja tengah. Dingetke wae, ya!”
               “Inggih, Bu.” Wangslane mung sacukupe, merga awake pancen lagi kesel ora kaya biyasane.
               Jam 2 awan Pak Karso wis tangi. Dheweke banjur reresik awak kareben seger. Ora lali marang weling ibune, Tini ngenget dhaharan kanggo bapake. Sinambi nggendhong Dhimas sing nangis wae, dheweke katon repot banget kaya ibu-ibu rumah tangga. Kahanan kaya mangkono pancen kudu dilakoni.
               “Adhimu kena apa, Ndhuk? Kok nangis wae? Kene dakjak bapak, kowe ngenget wae.” Pandanguune Pak Karso marang Tini.
               “Boten menapa, Pak. Paling nyuwun susu. Bibar menika kula damelaken.”
               “Ya wis yen ngono. Ndang, ya! Mesake adhimu.”
               “Inggih, Pak”
               Sawise rampung, Dhimas digawekake susu. Dheweke bisa turu angler sinambi ngemut dhot. Tini ngrasa yen dina iku ora kaya dina-dina biyasane. Arep nglakoni apa-apa kaya wegah. Sajak ana bab kang ngganjel atine.
               Srengenge surup lan padhanging rembulan tanggal limalas wis katon. Bu Marni wis kondur anggone nyambut gawe, gentenan Pak Karso sing tumandang. Wektu wis nudhuhake jam 01.00 WIB. Bu Marni lan Dhimas wis padha angler. Nanging, Tini babar pisan durung bisa turu ora kaya padatane. Atine tansah trataban. Malah, ora ngreti prakarane eluh tumetes. Jendhela dibukak byak dheweke nyawang sepining wengi sinambi nyangga uwang lan ambegan landhung. Bingung sejatine apa sing wis kadadeyan. Dheweke mbatin, “dhuh Gusti, sejatosipun menapa ingkang sampun kadadosan? Kula sampun nampi kanthi lila legawa menapa ingkang panjenengan paringaken. Ingkang kula suwun namung mugi-mugi kulawarga kula tansah pinanggih rahayu wilujeng, boten pinanggih bebaya.”
               Lamat-lamat kumrungu swara mobil nyedhaki omahe Pak Karso. Jebul iku mobil pulisi lan mandheg pas ana ing ngarep omah. Tini sansaya bingung.
               “Apa ana sing luput saka kulawargaku? Ing tengah wengi kaya mangkene ana pulisi teka. Aku luput apa? Apa ibu sing luput? Yen Dhimas, ora bakal duwe luput nganthi pulisi bisa teka. Apa bapak? Nanging, bapak wis tumindak apa? Sangertiku bapak iku wong sing becik, ora tau tumindak ala.” Durung rampung anggone nylathu, pulisi loro iku wis ndhodhog lawang ngarep.
               “Kula nuwun, kula nuwun.” Pulisi iku uluk salam.
               Tini mbukakae lawang lan mangsuli salame pulisi iku, “inggih, Pak, wonten menpa kok dalu-dalu rawuh wonten mriki?”
               “Kula saking kapulisiyan badhe nyuwun pirsa, menapa leres menika griyanipun Pak Karso?”
               “Inggih leres. Wonten wigatos menapa, nggih?”
               “Pangapunten, mbak, kula namung badhe atur palapuran bilih Pak Karso seda sasampunipun dipunkebuk maling.”
               “Apa? Ibuuuuuu!” Banget kagete Tini krungu lapurane pulisi mau. Bu Marni lan Dhimas kaget krungu jeritane Tini. Wong loro iku tangi kabeh langsung tumuju ing ngarepan. Bu Marni sansaya bingung merga ana pulisi teka ing tengah wengi.
               “Ana apa, Ndhuk? Lho, kok ana pulisi? Sapa sing luput?”
               “Bapak, Bu. Bapak.”
               “Iya, bapak kena apa?”
               “Apa, seda? Mau bapak sehat-sehat wae kok.” Bu Marni sajak ora precaya.
               Pulisi mantepake wong loro iku, “inggih, Bu, menika leres. Kala wau Pak Karso nyepeng maling. Nanging, gandheng malingipun cacah tiga, Pak Karsa kawon. Lajeng wonten salah satunggaling warga ingkang lapur ing kantor pulisi.”
               “Dhuh Gusti, coba menapa menika?” Bu Marni uga nangis.
               “Kula suwun ingkang sabar, Bu! Awit Pak Karso seda nalika nglampahi jejibahan luhur lan numpes durjana. Samenika jenazahipun taksih wonten griya sakit Ngudi Waras. Sumangga samenika kula dherekaken mrika.” Saute pulisi.
               “Inggih, Pak. Tini, Dhimas gugahen, saiki bareng-bareng budhal nggawa kondur bapak!”
               “Inggih, Bu.” Wangsulane Tini sinambi tangis seseg.

               Bagyane kulawarga iku sanalika iku kasigeg. Padhang wis katutup peteng. Langit kaya-kaya nibani sirahe Tini lan Bu Marni. Esuke, Pak Karso digawa kondur menyang omahe lann disarekake ing pemakaman umum. Ora namung kulawarga, nanging tangga-tangga uga ngrasa kelangan. Merga, Pak Karso wis misuwur kapethelane lan tanggung jawabe anggone nglakoni jejibahan dadi Hansip.
TULADHA GEGURITAN

     TRESNA IBU
    Dening : Zaenal Awaludin

Pepadhang sajroning pepeteng
Tresnaku marang ibu gawe ngedohi tumindak dudu
Tresnaku marang ibu larang regane ora bisa dituku
Ora bisa tiniru sarana bandha lan raja brana
Tresnaku marang ibu jalaran toh-tohan nyawa
Tresnaku marang ibu dalan kang tumuju bebener
Ibu paring welas asih marang aku

Suka pitulung marang aku
TULADHA CERKAK

KANGMAS, AKU KEPENGIN AKUR
 Dening : Zaenal Awaludin

     Mudhun saka motor nalika mulih sekolah, aku terus nguculi helm. Ponakanku, Idun sing isih umur telung taun ngampiri sinambi mlayu lan ngguya-ngguyu. Pancen dheweke ponakan sing paling daksayang. Ora lali mesthi ana pitakon kaya mangkene nalika aku mulih saka sekolah, “mas, Idun ditumbasake apa?” Aku kerep nggawa es campur kasenengane. Awak kesel ora dakrasa nalika nyawang ponakanku siji iki sing lucu.


            Sinambi ngaso nglemesake awak, aku ora lali ngadhep laptop. Dhasare jurusanku komputer ing salah siji Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ing Wonosobo, mula kasenenganku ya ngothak-athik laptop. Nanging, dina iku bingung arep ngapa. Sumangatku kanggo sinau wektu-wektu iki rada ilang. Ana prakara kang gawe aku kaya mangkene. Tansah gawe aboting pikirku. Dudu karo wog liya, nanging kangmasku dhewe. Sejatine dudu kangmasku asli, nanging putrane budhe. Nalika isih umur nem wulan ing njero weteng, dheweke wis ditinggal seda dening bapake. Banjur ibune nyusul seda nalika kangmasku umur rong taun. Dheweke milih melu bapaku. Aku dhewe sejatine ora ngreti kenangapa kangmasku kaya mangkono. Aku ora rumangsa duwe luput. Wiwit aku isih cilik kangmasku wis duwe rasa ora sayang marang aku. Luwih-luwih nalika aku disekolahake ing SMK dening wong tuwaku.


             Wengine, saka njaba kamar krungu swarane ibu nimbali aku. “Teja, ana Mas Agus iki nggoleki kowe.”


            “Inggih, sakedhap, Bu.”


            Mas Agus iku kancaku, ya kancane kangmasku. Dheweke mesthi dadi panengah nalika aku lan kangmasku padu.


            “Mangga, mas. Arep tindak ngendi, ta kok dhines temen, kaya arep nglamar wae?” pitakonku karo ngguyu.


            “Halah nglamar sapa, apa ana sing gelem karo aku? Hahaha”


            “Ya menawane wae mas wong pancen sampeyan iki wis wayahe kok, hehehe”


            “Aku arep ngajak kowe dolan menyang pasar malem. Mengko arep njajan apa wae dakturuti pumpung aku lagi ana rejeki.”


            “Kok janur gunung apikan ta, mas? Biyasane karo Mas Tugi.”


            “Wis, ayo ndang budhal mundhak sansaya wengi. Numpak motormu wae ya?”


            “Ok, mas.”


            Aku ora lali pamit marang bapak ibu kanthi  salaman ngambung tangan.


            “Kula dolan rumiyin nggih, Pak, Bu?”


            “Iya, sing ngati-ati aja mulih kewengen.”


            “Inggih, Bu.”


            Aku lan Mas Agus enggal-enggal budhal numpak motorku. Sadawane dalan tumuju pasar malem dikebaki guyon mrana-mrene ora cetha. Ora krasa jebul wis tekan. Aku milih-milih kaos bal-balan. Dene Mas Agus nggolek jaket kulit.


            “Piye, Ja, wis entuk apa durung? Iki aku wis entuk jaket kulite.”


            “Aku uga wis entuk, Mas.”


            “Mung kaos siji thok? Milih maneh liyane!”


            “Ora lah, Mas. Iki wae wis matur nuwun banget.”


            “Ya wis yen pancen ngono.”


            “Sadaya dados pinten, Pak?” pitakone Mas Agus marang bakul sandhangan iku.


            “Kalih atus seket ewu, Mas.”


            “Menika, Pak. Matur nuwun, nggih.” Bakul sandhangan iku mung manthuk-manthuk.


            Gandheng weteng padha-padha luwe, Mas Agus ngajak njajan bakso. Aku nyuwun dibungkusake wae merga wis meh tengah wengi. Mas Agus nyetujoni lan dibungkus kabeh.


            Tekan omah, Mas Tugi wis lagi lenggah dhewe sinambi nonton tv. Pasuryane katon prengat-prengut. Kaya-kaya aku ora wani takon. Bakso sing mau dijajakake dening Mas Agus daktawakake.


            “Mas, iki arep bakso apa ora? Mau dijajakake Mas Agus.”


            “Ora butuh!” Wangsulane nganyelke ati.


            Mas Agus njiwit pupuku supaya ora mangsuli. Namung esem kecutku sing mangsuli. Ana nggomah aku kaya wong liya tumrap Mas Tugi. Sing gawe aku isih betah ana ing omah merga isih ana jadwal ujian smester ganjil kelas 12. Aku gelem dijak Mas Agus dolan mung kepengin mlayokake ati kang pegel iki. Aku uga tansah eling marang pituture bapak lan ibu, yen aku tetep kudu sabar nglakoni kadadeyan iki.


            “Pancen kepenak uripe, ya, anane mung sekolah, dolan, lan mangan. Njaluk apa-apa mesthi keturutan. Ora kaya aku budhal menyang sawah wayah esuk mulih sore. Sing remuk ya remuk. Sing kepenak ya kepenak. Sing nandur ya nandur. Sing kari panen ya ana. Njaluk motor langsung dituruti. Sing iki paling njaluk dhuwit petukon udud wae ora dikei.” Mas Tugi anggone matur nesu.


            Aku sing ora rumangsa nglakoni kaya mangkono mung bisa meneng lan ndhengkluk ora wani nyawang. Ora krasa eluh tumetes saka mripatku. Mas Agus nalika iku mung ngrangkul aku ora aweh atur kaya biyasane, merga ora kepengin nambah-nambahi prakara. Pancen bener nyatane yen aku njaluk apa-apa gampang dituruti, nanging kangmas lan adhiku uga kaya mangkono. Bapak lan ibu nganggep  padha, ora ana sing dibeda-bedana. Aku mung wani ngomong ana ing batin, kok kangmas matur kaya mangkono. Enggal-enggal dakusapi eluhku nalika bapak lan ibu kondur saka daleme simbah supaya ora dadi pitakonan. Aku mlayu mlebu kamar, dene Mas Agus pamit mulih.


            Wengi sesuke aku dolan menyang daleme simbah. Kaya padatane, aku disuguh teh pait lan sengkulun. Ora nganggo wektu suwe aku nyritakake apa kang wis kadadeyan karo kangmasku. Kaya apa dukane simbah nalika ngreti kadadeyan iku. Aku mung bisa nangis seseg tanpa swara. Simbah ora trima yen aku digawe kaya mangkono.


            “Sing anake bapakmu iku kowe, dudu kangmasmu. Yen kaya mangkono bapakmu bakal dakutus nundhung kangmasmu!” Ngendikane simbah sinambi duka.


            “Sampun kados makaten, mbah. Kangmas ugi mbetahaken bapak saha ibu. Kula boten kepengin kangmas dipuntundhung.”


            “Kowe iki kepriye, Le? Awakmu wis didaksiya marang kangmasmu. Ora trima rasaku!”


            “Boten menapa, mbah. Sampun ngantos memanjang prakawis.” Aku mangsuli karo mlayu metu tanpa pamit.


            Simbah nututi aku ana ing omah lan ngandharake marang bapak. Bapak langsung duka. Kangmas ditimbali ana ing kamar dilarak metu.


            “Kowe wis ngapakake anaku? Ra trima rasaku yen kowe wani ndaksiya Teja. Beja-bejane wong urip yen wis ora duwe wong tuwa nanging isih ana sing gelem ngrumat. Wis dakwenehi ati malah ngrogoh rempela. Banyu susu kokwales banyu semburan. Aku wis ora sudi nyawang wong watek asu kaya kowe. Becik kowe lunga saka omah iki. Mrana sapa sing gelem ngrumat kowe maneh!” Bapak duka marang mas Tugi.


            Mas Tugi ora mangsuli. Mung eluh sing tumetes. Ibu ngrangkul aku melu nangis. Kabeh kulawarga padha ngumpul merga krungu swarane bapakku. Kabeh ora ana sing wani nyigeg dukane bapak. Aku nguculi rangkulane ibu lan nyuwun marang bapak supaya ora nundhung Mas Tugi.


            “Sampun, Pak, sampun. Kula boten lila manawi Mas Tugi  dipuntundhung. Sanadyan sanes putranipun bapak, nanging Mas Tugi ugi kangmas kula. Sampun dipuntundhung , Pak. Sanes punika ingkang kula kajengaken.” Tangisku sansaya seru.


            “Ora mangkono, Le. Kangmasmu iki kudu daktundhung supaya uripmu bisa adhem ora kebak pikir!”


            “Boten, pak. Manawi Mas Tugi dipuntundhung boten saged damel manah kula adhem. Boten kados makaten, Pak.”


            “Banjur apa karepmu?”


            “Kula boten ngajeng-ajeng punapa-punapa. Kula boten kepengin Mas Tugi dipuntundhung. Kula namung kepengin Mas Tugi saged akur kaliyan kula.”


            “Tugi! Krungu apa ora adhimu ngomong apa? Adhimu wis kokdaksiya nanging bisa aweh piwales kang apik. Ora kaya awakmu. Krungu ora?” Bapak sansaya duka ngreti aku mangsuli kaya mangkono lan melu nangis.


            “Inggih, pak. Kula nyuwun pangapunten. Kula namung kepengin dipungatosaken sami kaliyan Teja. Kula namung kepengin ngraosaken kados menapa gadhah tiyang sepuh ingkang asli.” Mas Tugi mangsuli sinambi nangis seseg. Kangmas mlayu ninggalke kabeh. nalika iku uga kangmas mlayu ninggalake wong ing kono kabeh. Aku ngoyak nanging digondheli bapak.

             "Wis, Ja! Ora apa-apa." Bapak ngadhemake atiku.
             "Boten, Pak. Kula kepengin sareng Mas Tugi, Kula kepengin akur, boten langkung saking menika."


           
TULADHA GEGURITAN


                       NGENDIKANE BUYUT
                       Dening : Zaenal Awaludin

Ngendikane buyut dhisik
Dhusun iki gemah ripah loh jinawi
Subur makmur kang sarwa tinandur
Katon reja kaya kang cinrita
Nanging apa isih bener ngendikane buyut?
Kahanan saiki sajak wis owah
Akeh wong sambat rasa
Merga lemah padha nela
Tanduran padha garing

Saiki among kari crita lapa
TULADHA GEGURITAN

            NGRUNGKEBI IBU PERTIWI
                          Dening : Zaenal Awaludin

Lakon apa dhuh Hyang Suksma
Trenyuh ati iki saben siyang ratri
Becik lan angkara murka
Tan kena kapisahna
Angkara murka tan kena kasirnakna
Nora sranta wak mami arep tetulung
Marang kahanan nagara iki
Ngrungkebi labuh-labeting nagara

Tresna mring ibu pertiwi