Selasa, 17 Mei 2016

LANTUNAN DERITA CINTA

Oleh : Zaenal Awaludin
    
Cinta adalah sebuah rasa penghias kehidupan. Kau semua tahu, bukan, akan hal itu? Apalagi kaum muda yang seolah-olah tak sempurna hidupnya tanpa hiasan rasa cinta. Namun, apakah selamanya cinta itu indah dan berujung bahagia?
            Gunadi, itulah namaku. Dari sebuah kampung terpencil di Wonosobo, Tlogodalem, itulah asalku. Kutuliskan sebuah kisah cintaku dengan seorang gadis mungil bernama Lasmi. Ya, namanya hampir terdengar seperti istri Dewa Wisnu, Dewi Laksmi. Begitu pula dengan kecantikannya, menurutku.
             Lasmi telah beberapa kali datang ke rumahku. Berbanding terbalik, belum sekali pun aku ke rumahnya. Mungkin rasa rikuh yang membelenggu diriku sebagai anak buruh tani, sedangkan ia anak pejabat tinggi.
            “Mas Gun, mbok ya, sesekali datang ke rumahku, berjumpa bapak ibu. Aku saja sudah sering ke sini, ta?” Kalimat itu membuatku tak henti-henti tuk berpikir. Senang, iya. Rikuh, iya. Yang jelas bingung.
            “Dhik Lasmi, ora teges aku ora gelem mara menyang omahmu. Sawangen dhewe! Kahananku kaya mangkene. Sliramu lak anak pejabat tinggi, dene aku anak buruh tani. Aku wedi sliramu wirang ing ngarepe wong tuwamu merga aku.”
            “Ya tidak begitu juga, Mas. Sampeyan ini belum sekali pun ke rumahku. Apa sampeyan sudah tahu seperti apa orang tuaku? Belum tentu apa yang dikatakan Mas Gunadi itu benar. Percayalah, Mas! Bapak ibu itu orang baik.”  
            “Iya, aku ngreti. Nanging, tumpakanmu wae mobil sport sing sangar, dene aku mung numpak dhokar. Lak ora imbang, ta? Sanajan aku tresna sliramu, nanging...”
            “Sudah, Mas, jangan seperti itu. Cinta itu tak pandang harta dan tahta. Coba sampeyan ingat-ingat! Sudah hampir tiga tahun kita menjalin kasih. Apa sampeyan tidak ingin hubungan kita diteruskan lebih serius? Apa sampeyan tidak ingin melamarku? Atau sudah tak cinta lagi?”
            Lasmi terus meyakinkanku, namun apa daya, diriku sadar terhadap diriku. Walau begitu besar rasa cintaku padanya yang tak dapat kuliskan dengan apa yang ada dalam dunia, namun keraguanku diterima orang tuanya tetap saja ada. Hanya anggukan kepala sebagai jawabanku.
            Dengan tekad kuat dan rasa semangat walau  keraguan tetap melekat, kuberanikan menuruti permintaan Lasmi tuk datang ke rumahnya. Dengan mobil sport miliknya yang sangar, mungkin kali pertama aku mengendarai kendaraan semewah itu.
            Saat senja kutiba di rumahnya yang terletak tak jauh dari Alun-alun Wonosobo, aku hanya bisa plonga-plongo mengamati kemegahan rumah bak istana itu. Amboy, keramiknya saja bisa untuk berkaca saking bening dan bersihnya. Ibarat lalat terpeleset saat jalan di atasnya. Rumah tiga tingkat berpagar besi diikat kawat berduri dan tanaman merambat yang merayap serta berbagai bunga indah beraneka warna dan lampu pijar yang memancar yang mempercantik tamannya. Tak seperti rumahku, pagar belakang pasrah dirayapi tanaman rambat yang menjalar tak beraturan, berkejaran dengan semak-semak dan perdu ilalang yang tumbuh serabutan. Genteng bocor, atap ditenggeri sarang burung liar. Atap berjamur akibat rembesan air hujan. Hampir tiap sudut atas terajut halus jaring laba-laba.
            “Ini rumah apa istana?” dalam hati kuberkata sambil  terkagum-kagum.
           “Mas, ayo masuk! Malah diam saja,” sambil menepuk pundak kananku, Lasmi mengajakku tuk masuk. Aku hanya diam seperti patung dan bingung dengan mata berkatung-katung.
         Belum genap selangkah kupijak teras berkeramik itu, sorot cahaya memancar keluar menembus celah sela tirai merah yang menutupi jendela. Tirai itu tersingkap dari dalam. Tak lama kemudian terbukalah pintu besar yang terbuat dari kayu jati yang kokoh menjulang bagai dinding karang yang menghalangi ombak menerjang. Sepasang suami istri yang merupakan orang tua Lasmi, keluar dengan wajah suram. Kutundukkan kepala dan kuulurkan tangan tuk bersalaman. Namun, tak ada balasan uluran tanganku. Saat kupandang, hanya senyum kecut yang mereka lontarkan. Kembali kutertunduk dengan hati gemetar karena sedikit rasa takut melihat ayahnya yang berbadan kekar dan wajah bingar. Kuterdiam tak terlontar kata bahkan suara.
            “Mas, ini bapakku, Pak Rangga, dan ini ibuku, Bu Anjani. Pak, Bu, ini yang namanya Mas Gunadi yang sering kuceritakan itu. Dia orangnya baik dan apa adanya,” Lasmi  memperkenalkan mereka dihadapanku, begitu pun aku yang diperkenalkan di hadapannya.
            Jawaban yang terlontar dari Pak Rangga bagai petir menyambar dengan suara menggelegar. “Iki bentukane? Hem! Dadi wong kuwi ngaca! Panganggomu wae kaya mangkene, arep nyandhing putriku, heh?” Ia menyaci sambil menarik kerah kaosku dan mengibatkan tangan setelahnya. Mungkin kaos abu-abu kusam yang kukenakan ini terlalu najis baginya. Berbeda dengan yang mereka kenakan, semua serba mewah. Apalagi Bu Anjani yang mengenakan perhiasan serba wah dan kinclong.
            “Pak, tolong jangan seperti itu dengan Mas Gunadi! Dia orang baik-baik meski seperti ini.” Lasmi mencoba menenangkan ayahnya sambil menitikkan air mata, namun ibunya memegangi erat-erat badan Lasmi seakan menyegahnya.
            “Wis, Ndhuk, aja gawe wirang wong tuwamu. Yen ana wong liya ngreti, arep diselehke neng endi raine wong tuwamu?” kata Bu Anjani sambil melerok kepadaku.
            Tak banyak kata yang kulontarkan. Aku segera beranjak pergi saat Pak Rangga mendorong dadaku hanya dengan telunjuk tangan kirinya sembari berkata sudah, sekarang kamu pulang! Aku ora sudi kowe nyandhing putriku, wong kere!”
            Sehina inikah diriku di mata mereka? Iya, memang aku ini wong kere. Namun rasanya terlalu sakit kata itu di hatiku. Kutoleh nampak Lasmi mengejar langkahku sambil menangis . Apa daya, orang tuanya terlalu perkasa tuk tak menyegahnya. Kuteruskan langkah kaki menerobos pintu pagar besi dengan lilitan kawat berduri. Terhentilah aku saat adzan maghrib sudah berkumandang. Cahaya redup mulai bergoyang. Duduklah aku di bawah pohon beringin rindang di pinggir jalan lengkap dengan suasana malam menjelang. Lolong jerit histeris dalam hati menerima kenyataan ini. Memang, aku ini tak pantas untuk Lasmi. Aku sadar akan dirku. Dan kuingat apa yang dikatakan ayahku tentang jodho talimangsa. Dewa entuk dewi, bambang entuk endhang, raja entuk prameswari, wong sugih entuk wong sugih, wong kere entuk wong kere, dan sebagainya. Tak pantas aku tuk menyesali semuanya, karena itulah kenyataannya. Aku bukan orang yang bergelimangan harta, namun di mata orang tua Lasmi yang ada intan dan permata. Mungkin itulah yang membuatku merasa sengsara.
            Lasmi, tak ingatkah kau dulu kita pernah berjanji-janji setia? Semua itu musnah karena keadaan dan masa. Namun walau dirimu pergi jauh meninggalkanku, tak akan pudar rasa cintaku padamu. Ketahuilah, Lasmi! Bila kau terluka, aku pun tersiksa. Betapa besar cinta yang sekian lama kita bina bersama, namun semuanya terhalang dinding pemisah begitu tingginya. Lalu, sebenarnya untuk apa semua ini? Semua hanya berbuah derita. Kumohon padamu, Lasmi. Tabahkanlah dan relakanlah! Kita harus berpisah. Maaf bila membuatmu tak nyaman, namun aku tak punya pilihan. Hanya dapat kulantunkan tembang untukmu, Lasmi.

Lali lali datan bisa lali
Lawas saya katon
Umpamakna wit-witan kang gedhe
Tinutuhan datan bisa mati
Mrajak saya semi
Tresnaku ngrembuyung
(Pupuh Mijil)
Walau bila kau akan melupakanku, namun aku tak akan melupakanmu. Mungkin semakin kau melupakanku, aku akan selalu mengingatmu. Bak pohon beringin rindang yang dipangkas tak akan mati. Namun akan terus bersemi. Cintaku akan tetap subur untukmu, Lasmi.

Tlogodalem, 15 April 2016
Terinspirasi lagu Sheilla oleh Saleem Iklim dan pupuh Mijil










           
Keterangan :
Rikuh : malu
Dhik Lasmi, ora teges aku ora gelem mara menyang omahmu. Sawangen dhewe! Kahananku kaya mangkene. Sliramu lak anak pejabat tinggi, dene aku anak buruh tani. Aku wedi sliramu wirang ing ngarepe wong tuwamu merga aku : Dik Lasmi, tak berarti aku tak mau ke rumahmu. Lihat sendiri! Keadaanku seperti ini. Kamu anak pejabat tinggi, sedangkan aku anak buuruh tani. Aku takut bila kamu malu di hadapan orang tuamu karena aku.
Sampeyan : kamu
Iya, aku ngreti. Nanging, tumpakanmu wae mobil sport sing sangar, dene aku mung numpak dhokar. Lak ora imbang, ta? Sanajan aku tresna sliramu, nanging : iya, aku tahu. Tetapi, kendaraanmu saja mobil olahraga yang sangat bagus, sedangkan aku hanya menaiki delman. Seperti itu tidak imbang, kan? Walau aku cinta kamu, tetapi.
Sport : olahraga
Sangar : sangat bagus
plonga-plongo : tercengang
Iki bentukane? Hem! Dadi wong kuwi ngaca! Panganggomu wae kaya mangkene, arep nyandhing putriku, heh : seperti ini wujudnya? Hem! Jadi orang itu berkaca!
Wis, Ndhuk, aja gawe wirang wong tuwamu. Yen ana wong liya ngreti, arep diselehke neng endi raine wong tuwamu? : sudah , Ndhuk, jangan membuat malu orang tuamu. Kalau ada orang lain tahu, akan ditaruh di mana muka orang tuamu?
Aku ora sudi kowe nyandhing putriku, wong kere! : aku tidak sudi kamu bersama putriku, orang miskin!
jodho talimangsa : jodoh yang pasangannya setara dengan nasib serta keadaan.
Dewa entuk dewi : dewa mendapatkan dewi
bambang entuk endhang : bambang ( julukan lelaki lajang dari gunug / desa ) mendapatkan edang ( julukan gadis dari gunung / desa )
raja entuk prameswari : raja mendapatkan permaisuri
wong sugih entuk wong sugih : orang kaya mendapatkan orang kaya
wong kere entuk wong kere : orang miskin mendapatkan orang miskin
tembang : nyanyian Jawa
Lirik lagu Sheilla oleh Iklim :

Sheilla
Bila kau terluka
Aku pun tersiksa
Betapa besar cinta kita
Yang telah terbina
Namun terhalang
Dinding pemisah
Begitu tingginya
Sheilla
Kini terbelenggu
Kerna orang tuamu
Di mata mereka
Yang ada intan dan permata
Aku tak punya harta dan benda
Mungkin akan membuat sengsara
Lalu kucuba bertanya
Untuk apa cinta kita
Sekian lama kita bina
Hanya berbuah derita
Oh Sheilla
Tabahkanlah suratan di dirimu
Oh Sheilla
Relakanlah kita harus berpisah
Sheilla
Kini terbelenggu
Kerna orang tuamu
Di mata mereka
Yang ada intan dan permata
Aku tak punya harta dan benda
Mungkin akan membuat sengsara
Lalu ku cuba bertanya
Untuk apa cinta kita
Sekian lama kita bina
Hanya berbuah derita
Oh Sheilla
Tabahkanlah suratan di dirimu
Oh Sheilla
Relakanlah kita harus berpisah
Sheilla
Aku menyedari
Betapa susahnya
Mana yang harus engkau pilih
Aku atau dia
Mengapa kita harus bertemu
Sheilla oh sheilla
Cakepan atau lirik pupuh Mijil :
Lali lali datan bisa lali
Lawas saya katon
Umpamakna wit-witan kang gedhe
Tinutuhan datan bisa mati
Mrajak saya semi
Tresnaku ngrembuyung
Terima kasih kepada Saleem Iklim yang telah menciptakan lagu Sheilla

Terima kasuh pula kepada pencipta Pupuh Mijil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar