LANTUNAN DERITA CINTA
Oleh : Zaenal Awaludin
Cinta adalah
sebuah rasa penghias kehidupan. Kau semua tahu, bukan, akan hal itu? Apalagi
kaum muda yang seolah-olah tak sempurna hidupnya tanpa hiasan rasa cinta.
Namun, apakah selamanya cinta itu indah dan berujung bahagia?
Gunadi,
itulah namaku. Dari sebuah kampung terpencil di Wonosobo, Tlogodalem, itulah
asalku. Kutuliskan sebuah kisah cintaku dengan seorang gadis mungil bernama
Lasmi. Ya, namanya hampir terdengar seperti istri Dewa Wisnu, Dewi Laksmi.
Begitu pula dengan kecantikannya, menurutku.
Lasmi telah beberapa kali datang ke rumahku.
Berbanding terbalik, belum sekali pun aku ke rumahnya. Mungkin rasa rikuh yang membelenggu diriku sebagai
anak buruh tani, sedangkan ia anak pejabat tinggi.
“Mas
Gun, mbok ya, sesekali datang ke
rumahku, berjumpa bapak ibu. Aku saja sudah sering ke sini, ta?” Kalimat itu membuatku tak
henti-henti tuk berpikir. Senang, iya. Rikuh,
iya. Yang jelas bingung.
“Dhik Lasmi, ora teges aku ora gelem mara
menyang omahmu. Sawangen dhewe! Kahananku kaya mangkene. Sliramu lak anak
pejabat tinggi, dene aku anak buruh tani. Aku wedi sliramu wirang ing ngarepe
wong tuwamu merga aku.”
“Ya
tidak begitu juga, Mas. Sampeyan ini
belum sekali pun ke rumahku. Apa sampeyan
sudah tahu seperti apa orang tuaku? Belum tentu apa yang dikatakan Mas
Gunadi itu benar. Percayalah, Mas! Bapak ibu itu orang baik.”
“Iya, aku ngreti. Nanging, tumpakanmu wae
mobil sport sing sangar, dene aku mung numpak dhokar. Lak ora imbang, ta?
Sanajan aku tresna sliramu, nanging...”
“Sudah,
Mas, jangan seperti itu. Cinta itu tak pandang harta dan tahta. Coba sampeyan ingat-ingat! Sudah hampir tiga
tahun kita menjalin kasih. Apa sampeyan tidak
ingin hubungan kita diteruskan lebih serius? Apa sampeyan tidak ingin melamarku? Atau sudah tak cinta lagi?”
Lasmi
terus meyakinkanku, namun apa daya, diriku sadar terhadap diriku. Walau begitu
besar rasa cintaku padanya yang tak dapat kuliskan dengan apa yang ada dalam
dunia, namun keraguanku diterima orang tuanya tetap saja ada. Hanya anggukan
kepala sebagai jawabanku.
Dengan
tekad kuat dan rasa semangat walau
keraguan tetap melekat, kuberanikan menuruti permintaan Lasmi tuk datang
ke rumahnya. Dengan mobil sport miliknya
yang sangar, mungkin kali pertama aku
mengendarai kendaraan semewah itu.
Saat
senja kutiba di rumahnya yang terletak tak jauh dari Alun-alun Wonosobo, aku
hanya bisa plonga-plongo mengamati
kemegahan rumah bak istana itu. Amboy, keramiknya saja bisa untuk berkaca
saking bening dan bersihnya. Ibarat lalat terpeleset saat jalan di atasnya. Rumah
tiga tingkat berpagar besi diikat kawat berduri dan tanaman merambat yang
merayap serta berbagai bunga indah beraneka warna dan lampu pijar yang memancar
yang mempercantik tamannya. Tak seperti rumahku, pagar belakang pasrah dirayapi
tanaman rambat yang menjalar tak beraturan, berkejaran dengan semak-semak dan
perdu ilalang yang tumbuh serabutan. Genteng bocor, atap ditenggeri sarang
burung liar. Atap berjamur akibat rembesan air hujan. Hampir tiap sudut atas
terajut halus jaring laba-laba.
“Ini
rumah apa istana?” dalam hati kuberkata sambil terkagum-kagum.
“Mas,
ayo masuk! Malah diam saja,” sambil menepuk pundak kananku, Lasmi mengajakku
tuk masuk. Aku hanya diam seperti patung dan bingung dengan mata
berkatung-katung.
Belum
genap selangkah kupijak teras berkeramik itu, sorot cahaya memancar keluar
menembus celah sela tirai merah yang menutupi jendela. Tirai itu tersingkap
dari dalam. Tak lama kemudian terbukalah pintu besar yang terbuat dari kayu
jati yang kokoh menjulang bagai dinding karang yang menghalangi ombak
menerjang. Sepasang suami istri yang merupakan orang tua Lasmi, keluar dengan
wajah suram. Kutundukkan kepala dan kuulurkan tangan tuk bersalaman. Namun, tak
ada balasan uluran tanganku. Saat kupandang, hanya senyum kecut yang mereka lontarkan. Kembali kutertunduk dengan hati
gemetar karena sedikit rasa takut melihat ayahnya yang berbadan kekar dan wajah
bingar. Kuterdiam tak terlontar kata bahkan suara.
“Mas,
ini bapakku, Pak Rangga, dan ini ibuku, Bu Anjani. Pak, Bu, ini yang namanya
Mas Gunadi yang sering kuceritakan itu. Dia orangnya baik dan apa adanya,”
Lasmi memperkenalkan mereka dihadapanku,
begitu pun aku yang diperkenalkan di hadapannya.
Jawaban
yang terlontar dari Pak Rangga bagai petir menyambar dengan suara menggelegar. “Iki bentukane? Hem! Dadi wong kuwi ngaca!
Panganggomu wae kaya mangkene, arep nyandhing putriku, heh?” Ia menyaci
sambil menarik kerah kaosku dan mengibatkan tangan setelahnya. Mungkin kaos
abu-abu kusam yang kukenakan ini terlalu najis baginya. Berbeda dengan yang
mereka kenakan, semua serba mewah. Apalagi Bu Anjani yang mengenakan perhiasan
serba wah dan kinclong.
“Pak,
tolong jangan seperti itu dengan Mas Gunadi! Dia orang baik-baik meski seperti
ini.” Lasmi mencoba menenangkan ayahnya sambil menitikkan air mata, namun
ibunya memegangi erat-erat badan Lasmi seakan menyegahnya.
“Wis, Ndhuk, aja gawe wirang wong tuwamu.
Yen ana wong liya ngreti, arep diselehke neng endi raine wong tuwamu?” kata
Bu Anjani sambil melerok kepadaku.
Tak
banyak kata yang kulontarkan. Aku segera beranjak pergi saat Pak Rangga
mendorong dadaku hanya dengan telunjuk tangan kirinya sembari berkata “sudah, sekarang kamu pulang! Aku ora sudi kowe nyandhing putriku, wong
kere!”
Sehina
inikah diriku di mata mereka? Iya, memang aku ini wong kere. Namun rasanya terlalu sakit kata itu di hatiku. Kutoleh
nampak Lasmi mengejar langkahku sambil menangis . Apa daya, orang tuanya terlalu
perkasa tuk tak menyegahnya. Kuteruskan langkah kaki menerobos pintu pagar besi
dengan lilitan kawat berduri. Terhentilah aku saat adzan maghrib sudah
berkumandang. Cahaya redup mulai bergoyang. Duduklah aku di bawah pohon
beringin rindang di pinggir jalan lengkap dengan suasana malam menjelang.
Lolong jerit histeris dalam hati menerima kenyataan ini. Memang, aku ini tak
pantas untuk Lasmi. Aku sadar akan dirku. Dan kuingat apa yang dikatakan ayahku
tentang jodho talimangsa. Dewa entuk
dewi, bambang entuk endhang, raja entuk prameswari, wong sugih entuk wong sugih,
wong kere entuk wong kere, dan sebagainya. Tak pantas aku tuk menyesali semuanya,
karena itulah kenyataannya. Aku bukan orang yang bergelimangan harta, namun di
mata orang tua Lasmi yang ada intan dan permata. Mungkin itulah yang membuatku
merasa sengsara.
Lasmi,
tak ingatkah kau dulu kita pernah berjanji-janji setia? Semua itu musnah karena
keadaan dan masa. Namun walau dirimu pergi jauh meninggalkanku, tak akan pudar
rasa cintaku padamu. Ketahuilah, Lasmi! Bila kau terluka, aku pun tersiksa.
Betapa besar cinta yang sekian lama kita bina bersama, namun semuanya terhalang
dinding pemisah begitu tingginya. Lalu, sebenarnya untuk apa semua ini? Semua
hanya berbuah derita. Kumohon padamu, Lasmi. Tabahkanlah dan relakanlah! Kita
harus berpisah. Maaf bila membuatmu tak nyaman, namun aku tak punya pilihan.
Hanya dapat kulantunkan tembang
untukmu, Lasmi.
Lali lali datan bisa lali
Lawas saya katon
Umpamakna wit-witan kang gedhe
Tinutuhan datan bisa mati
Mrajak saya semi
Tresnaku ngrembuyung
(Pupuh Mijil)
Walau bila kau
akan melupakanku, namun aku tak akan melupakanmu. Mungkin semakin kau
melupakanku, aku akan selalu mengingatmu. Bak pohon beringin rindang yang
dipangkas tak akan mati. Namun akan terus bersemi. Cintaku akan tetap subur
untukmu, Lasmi.
Tlogodalem, 15 April 2016
Terinspirasi lagu Sheilla oleh Saleem Iklim dan pupuh Mijil
Keterangan :
Rikuh : malu
Dhik Lasmi, ora teges aku ora gelem mara menyang omahmu. Sawangen dhewe!
Kahananku kaya mangkene. Sliramu lak anak pejabat tinggi, dene aku anak buruh
tani. Aku wedi sliramu wirang ing ngarepe wong tuwamu merga aku : Dik
Lasmi, tak berarti aku tak mau ke rumahmu. Lihat sendiri! Keadaanku seperti
ini. Kamu anak pejabat tinggi, sedangkan aku anak buuruh tani. Aku takut bila
kamu malu di hadapan orang tuamu karena aku.
Sampeyan : kamu
Iya, aku ngreti. Nanging, tumpakanmu wae mobil sport sing sangar, dene
aku mung numpak dhokar. Lak ora imbang, ta? Sanajan aku tresna sliramu, nanging
: iya, aku tahu. Tetapi, kendaraanmu saja mobil olahraga yang sangat
bagus, sedangkan aku hanya menaiki delman. Seperti itu tidak imbang, kan? Walau
aku cinta kamu, tetapi.
Sport : olahraga
Sangar : sangat bagus
plonga-plongo : tercengang
Iki bentukane? Hem! Dadi wong kuwi ngaca! Panganggomu wae kaya mangkene,
arep nyandhing putriku, heh : seperti ini wujudnya? Hem! Jadi
orang itu berkaca!
Wis, Ndhuk, aja gawe wirang wong tuwamu. Yen ana wong liya ngreti, arep
diselehke neng endi raine wong tuwamu? : sudah , Ndhuk, jangan membuat
malu orang tuamu. Kalau ada orang lain tahu, akan ditaruh di mana muka orang
tuamu?
Aku ora sudi kowe nyandhing putriku, wong kere! : aku tidak
sudi kamu bersama putriku, orang miskin!
jodho talimangsa : jodoh yang pasangannya setara dengan nasib serta
keadaan.
Dewa entuk dewi : dewa mendapatkan dewi
bambang entuk endhang : bambang ( julukan lelaki lajang
dari gunug / desa ) mendapatkan edang ( julukan gadis dari gunung / desa )
raja entuk prameswari : raja mendapatkan permaisuri
wong sugih entuk wong sugih : orang kaya mendapatkan orang kaya
wong kere entuk wong kere : orang miskin mendapatkan orang
miskin
tembang : nyanyian Jawa
Lirik lagu
Sheilla oleh Iklim :
Sheilla
Bila kau terluka
Aku pun tersiksa
Betapa besar cinta kita
Yang telah terbina
Namun terhalang
Dinding pemisah
Begitu tingginya
Bila kau terluka
Aku pun tersiksa
Betapa besar cinta kita
Yang telah terbina
Namun terhalang
Dinding pemisah
Begitu tingginya
Sheilla
Kini terbelenggu
Kerna orang tuamu
Di mata mereka
Yang ada intan dan permata
Aku tak punya harta dan benda
Mungkin akan membuat sengsara
Kini terbelenggu
Kerna orang tuamu
Di mata mereka
Yang ada intan dan permata
Aku tak punya harta dan benda
Mungkin akan membuat sengsara
Lalu kucuba
bertanya
Untuk apa cinta kita
Sekian lama kita bina
Hanya berbuah derita
Untuk apa cinta kita
Sekian lama kita bina
Hanya berbuah derita
Oh Sheilla
Tabahkanlah suratan di dirimu
Oh Sheilla
Relakanlah kita harus berpisah
Tabahkanlah suratan di dirimu
Oh Sheilla
Relakanlah kita harus berpisah
Sheilla
Kini terbelenggu
Kerna orang tuamu
Di mata mereka
Yang ada intan dan permata
Aku tak punya harta dan benda
Mungkin akan membuat sengsara
Kini terbelenggu
Kerna orang tuamu
Di mata mereka
Yang ada intan dan permata
Aku tak punya harta dan benda
Mungkin akan membuat sengsara
Lalu ku cuba
bertanya
Untuk apa cinta kita
Sekian lama kita bina
Hanya berbuah derita
Untuk apa cinta kita
Sekian lama kita bina
Hanya berbuah derita
Oh Sheilla
Tabahkanlah suratan di dirimu
Oh Sheilla
Relakanlah kita harus berpisah
Tabahkanlah suratan di dirimu
Oh Sheilla
Relakanlah kita harus berpisah
Sheilla
Aku menyedari
Betapa susahnya
Mana yang harus engkau pilih
Aku atau dia
Mengapa kita harus bertemu
Sheilla oh sheilla
Aku menyedari
Betapa susahnya
Mana yang harus engkau pilih
Aku atau dia
Mengapa kita harus bertemu
Sheilla oh sheilla
Cakepan atau lirik pupuh Mijil :
Lali lali datan bisa lali
Lawas saya katon
Umpamakna wit-witan kang gedhe
Tinutuhan datan bisa mati
Mrajak saya semi
Tresnaku ngrembuyung
Terima kasih kepada Saleem Iklim
yang telah menciptakan lagu Sheilla
Terima kasuh pula kepada pencipta
Pupuh Mijil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar